Simbol kebodohan, Keraton Solo kubur kerbau di hutan Krendawahono



Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar upacara sesaji Mahesa Lawung di hutan Krendawahono, di Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (8/2) siang. Puncak upacara yang diikuti ratusan abdi dalem tersebut, ditandai dengan sesaji dan penguburan kepala kerbau, beserta keempat kaki, buntut darah dan kotoran.

Bagi Keraton Kasunanan Surakarta, hutan Krendawahono, memiliki peran penting dalam menjaga kelangsungan keraton. Menurut cerita para sesepuh keraton, hutan ini merupakan lawang gapit atau pintu masuk keraton dari sisi utara. Kekuatan makhluk gaib hutan yang ada di 15 kilometer sisi utara Kota Solo itu, dipercaya mampu menghalau segala bentuk kekuatan jahat yang akan masuk keraton.

Iring-iringan menuju Hutan Krendawahono diawali oleh barisan prajurit keraton. Seluruh peserta memasuki hutan menuju punden berundak yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathari Durga. Di lokasi punden segala macam ubarampe yang dibawa dari keraton seperti nasi gurih, ingkung ayam, jajan pasar, gudangan, dan kepala kerbau ditata rapi. Doa dalam Bahasa Jawa dipanjatkan oleh abdi dalem Joko Setyono Dipuro. Sementara ratusan abdi dalem dan kerabat keraton mengamininya.

Bau kemenyan yang dibakar di atas punden berundak menambah nuansa sakral dari upacara. Di bagian paling atas dari punden di letakkan kepala kerbau perjaka, empat kaki, dan juga jerohan yang terbungkus dalam tandu. Tampak juga di atas punden tertata rapi di antara sesaji beberapa bunga termasuk bunga Matahari.

"Ritual Mahesa Lawung ini rutin kami lakukan pada bulan Rabiulakhir pada hari Senin atau Kamis. Dalam ritual ini keratin memberikan sesaji kepada Dewi Kalayuwati. Dia ini kita percaya sebagai penunggu hutan Krendawahono. Beliau penjaga Keraton Surakarta di sisi utara dari dunia gaib," ujar Wakil Pengageng Sasana Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Winarna Kusumo.

Kanjeng Win panggilan akrab Winarna mengatakan, upacara Mahesa Lawung merupakan warisan leluhur yang wajib dilestarikan. Tujuannya adalah untuk mendoakan agar keraton Surakarta selalu diberikan keselamatan dan dijauhkan dari bencana. Tak hanya keraton tapi juga seluruh rakyat Indonesia.

"Sejarah ritual ini mengacu pada masa Raja Paku Buwono II yang mengganti nama Desa Sala menjadi Nagari Surakarta Hadiningrat pada tahun 1670. Saat itu, Raja Paku Buwono II menggelar ritual Mahesa Lawung setelah sepanjang 100 hari sejak pergantian nama, kemudian keraton mendapatkan berkah dan keselamatan," katanya.

Usai memanjatkan doa, sejumlah abdi dalem keraton diberi aba-aba untuk mengangkat kepala kerbau menuju liang kubur yang telah digali di bawah punden. Di liang itulah kemudian kepala kerbau ditanam. Menurut Kanjeng Win, dipilihnya kerbau, karena sosok kerbau merupakan simbol kebodohan. Tak hanya kebodohan, lanjut Kanjeng Win prosesi ini juga menyimbolkan penguburan sifat buruk yang tercermin dari kepala (kebodohan), jerohan (kotoran), dan kaki (kemalasan).

"Makanya kami pilih kerbau, kita kubur kepalanya, biar kebodohan kita hilang," terangnya.

Usai penguburan kepala kerbau, kegiatan dilanjutkan dengan prosesi pembacaan sejarah Mahesa Lawung dalam Bahasa Jawa oleh Kanjeng Win. Kemudian, sejumlah sesaji yang berupa bahan makanan dibagikan kepada peserta upacara.

Sumber : merdeka.com

Subscribe to receive free email updates: